COME AND FIND NOW

COME to my world knowledge
FIND what you share and
the real world will with you NOW

Breaking News

Rabu, 04 Maret 2015

ROBIN GEORGE COLLINGWOOD

 

Robin George Collingwood atau R.G Collingwood adalah seorang multi talent yang memiliki banyak minat. Dia seorang filsuf sejarah, arkeolog, sekaligus seniman. Bakat yang didapatnya diperoleh dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah seorang penulis, pelukis, dan akeolog bernama William Greshom Collingwood. Ibunya bernama Edith Mary Isaac, seorang pelukis dan pianis. Dia dididik orangtuanya hingga berumur 13 tahuin. Setahun kemudian dia menyelesaikan studinya di sekolah persiapan tata bahasa. Lalu pada tahun berikutnya, saat dia berumur 15 tahun, melanjutkan sekolahnya ke Rugby school, di sini dia merasa tidak puas akan sekolanya.Tahun 1908 dia mendapat beasiswa untuk studi bahasa dan sastra klasik di University College, Oxford. Setahun sebelum masa studinya berakhir, tepatnya tahun 1912, dia menjadi rekanan di Pembroke College, Oxford. Sejak tahun 1912 pula dia mulai menekuni bidang sejarah dan arkeologi. 

Penelitiannya mengenai situs Roma di Inggris menghasilkan buku The Archeology of Roman Britain yang diterbitkan pada akhir 1920an dan awal 193oan. Selain itu, dia pun sering menjadi pemimpin ekskavansi.Pada awal studinya mengenai filsafat, gagasannya berada di bawah pengaruh realis Oxford University, khususnya John Cook Wilson dan E.F Carritt. Sebagai seorang realis karya-karyanya pun banyak dipengaruhi oleh pekerjaannya sebagai filsuf continental, juga karya-karya Benedetto Croce dan Giovani Gentile. Hal ini merupakan hasil perkawanannya dengan J.A Smith, seorang Profesor Kehormatan Filsafat Metafisik dari tahun 1910 sampai 1935. Pada tahun 1913 dia menerjemahkan karya Croce “The Philosophy of Giambattista Vico” dan selanjutnya banyak menerjemahkan karya-karya Croce dan Guido de Rugierro. 

Tulisan-tulisan awal Collingwood berkisar mengenai agama dan filsafat agama yang berada dibawah pengaruh ‘Cumnor Circle’, kelompok dari gereja Inggris. Pada 1916, dia menerbitkan esaynya yang berjudul “The Devil” sebagai bahan koleksi kelompok tersebut. Dia juga menerbitkan buku pertamanya berisi tentang agama yang berjudul “Religion and Philosophy”.Pada tahun yang sama Collingwood banyak terlibat dalam penggalian-penggalian arkeologis, terutama mengenai Roman Britania sebagai kelanjutan dari penggalian yang dilakukanny sejak 1912. Selain itu, dia pun menulis beratus paper dan memproduksi banyak buku yang masih valid hingga saat ini, terutama inskripsi yang berkaitan dengan Roman-Britania. 

Pada akhir 1919 ia menulis sebuah survey mengenai sejarah ontological bukti yang sama dengan argumen analisa(?). Dia menerapkannya dalam beberapa karya, khususnya dalam Faith and Reason(1928), An Essay on Philosophical Method(1933), dan An Essay on Metaphysics.

Sepanjang tahun 1920-an dan awal 1930an Collingwood banyak bekerja di bidang sejarah dan arkeologi, serta menerbitkan The Archaeology of Roman Britain pada tahun 1930 dan beberapa edisi Roma Britain. Pada puncak kinerjanya adalah hasil surveinya mengenai Roma Britain yang dipublikasikan dalam Roman Britain and the English Settlements (1936) dan memberi kontribusi pada tulisan Tenney Frank mengenai Economic Survey of Ancient Rome (1937). Dia memaksakan diri untuk bekerja sehingga kemampuannya sebagai polymath (dapat membaca karya ilmiah dalam bahasa InggriPerancis, Spanyol, Italia, Jerman, Yunani dan Latin) banyak diminati sejak 1928 sampai seterusnya dalam kapasitasnya sebagai wakil ke Clarendon Press.Tahun 1924 dia menulis Speculum Mentis. Speculum Mentis adalah dialektik bentuk dari pengalaman seni, agama, ilmu pengetahuna, sejarah, dan filosofi. Selama periode ini dia pun memberi kuliah mengenai etika, sejarah Roma, filososfi Sejarah, dan estetika.

Awal 1930, kesehatan Collingwood memburuk karena insomnia yang dideritanya. Bulan April 1931 ia mengalami komplikasi yang timbul dari chicken pox dan mulai menderita tekanan darah tinggi. Dia tidak diperbolehkan mengajar lagi oleh universitasnya. Mengikuti kepulangannya, pada musim gugur 1932, dia mulai menulis buku baru yang terpenting, dan dianggap sebagai puncak prestasi seorang filsuf, berjudul An Essay on Philosophical Method (1933).

Karya ini bersumber pada pengenalan metodologis perkuliahan dalam filosofi moral yang telah dia berikan tahunan pada decade sebelumnya. Karya ini merupakan penyelidikan lanjutan yang menjadi pemikiran filsafat alam melalui pemeriksaan karakter khusus melalui penilaian karakter khusus dalam konsep filsafat. Mengikuti penerbitan Essay, dia memfokuskan filsafatnya pada filsafat sejarah dan filsafat alam. Kuliah-kuliah yang disampaikan pada masa ini menjadi dasar diterbitkannya The Idea History(1946) and The Idea of Nature(1945).

Collingwood kemudian menggantikan J.A Smith sebagai Profesor Waynflete Filsafat Metafisik dan pindah dari Pembroke ke Magdalene College. Bulan oktober tahun itu dia menyampaikan kuliah perdananya dalam The Historical Imagination. British Academy memilihnya sebagai penerima beasiswa doktoral pada tahun 1934 dan mengirimnya pada mata kuliah Human Nature dan Human History pada Mei 1936. Keduanya kemudian dimasukkan ke dalam The Idea History.

Collingwood menulis The Art Principles pada 1934, bilamana saat dia mengoreksinya terkena serangan stroke untuk pertama kalinya. Menyadari waktunya hanya terbatas, dia lalu menulis An Autobiography pada 1939. Buku ini merupakan biografi yang ditulisnya sendiri. Buku ini berisi tentang ketetapan hatinya untuk merekam segala bagian dari pekerjaan yang diharapkan untuk dilakukannya, tapi mungkin tidak sempat diselesaikannya. Sepanjang perjalanan penyembuhannya ke Hindia Belanda pada 1938 sampai 1939 dia menulis An Esay on Metaphysics, yang diterbitkan setahun kemudian. Dia pun mulai bekerja menyelesaikan karya besarnya, The Principles of History, yang baru dipublikasikan pada tahun 1995.Tahun 1939 dia berlayar mengelilingi Kepulauan Yunani bersama sekelompok sarjana Rhodes yang belajar di Oxford. Perjalanan penuh kenangan tidak terlupakan yang dicatat dalam The First Mate’s Log, diterbitkan pada 1940.
Sekembalinya Collingwood ke Oxford, dia memberi kulaih mengenai moral dan filsafat politik. Dia juga mengerjakan The New Leviathan, diterbitkan pada 1942, yang dilihatnya sebagai kontribusi terhadap upaya perang. Dia menulis buku sebagai latar belakang perlawanannya terhadap stroke yang semakin hebat.Tanggal 9 Januari 1943 Collingwood akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir di Coningston setelah sekian lama melawan penyakitnya. Dia pun dimakamkan di suatu gereja di Coningston, di makam sederhana antara orang tuanya dan John Ruskin. Pada 1945, kedudukannya sebagai profesor waynflete digantikan oleh Gilbert Ryle.Collinwood lebih banyak bergelut dalam bidang filsafat, meski dia memiliki ketertarikan di banyak bidang. Karya-karyanya lebih menitikberatkan kajiannya pada ilmu filsafat yang diterapkan dalam beberapa multidisiplin ilmu yang diminatinya, seperti seni, sejarah, dan filasafat itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan ketertarikannya pada ilmu yang mempelajari alam manusia. Sementara itu karyanya yang berdasar pada penulusuran dan penelitian adalah karya-karyanya pada bidang sejarah dan arkeologi, yang meneliti mengenai peninggalan-peninggalan Roma-Inggris.Sejarah menurut Collingwood adalah res-gestae, yaitu jejak-jejak pada masa lalu manusia. Res-gestae ini dapat diperoleh dan ditelusuri dengan re-enactmen atau menampilkan kembali jejak-jejak ini. Cara menampilkan jejak-jejak ini tidaklah mudah. Sejarawan tidak boleh hanya potong dan tempel, dalam hal ini sejarawan tidak sepatutnya menulis sejarah berdasarkan teori sejarah ‘potong dan tempel’.  
Collingwood berpandangan bahwa sejarah adalah tentang mempercayai orang ketika dia menyatakan bahwa sesuatu adalah peristiwa. Apabila yang dilakukan seorang sejarawan hanya memotong dan menempel pernyataan dari sumber saja, maka yang terjadi adalah sejarah yang ditutupi untuk kepentingan otoritas. Meski otoritas dalam hal ini dapat digunakan sebagai sumber dan bukti, tetapi sejarawan tidak boleh tunduk terhadap bukti. Seorang sejarawan tidak hanya mengumpulkan bukti dan melihat bukti semata-mata sebagai bukti saja, tetapi juga harus menganalisa apa yang ada di balik bukti tersebut. Sejarawan harus melihat bukti secara mendalam dan dapat membaca apa yang tersirat pada bukti tersebut. Bukti dapat dikatakan sebagai bahasa untuk menampilkan kembali suatu peristiwa. Dari sinilah kemudian dapat ditarik benang merah, bahwa bukti dihadirkan guna membangun atau merekonstruksi suatu peristiwa tadi. Sehingga yang diperoleh kemudian bukan merupakan biografi tokoh-tokoh sejarah saja, melainkan suatu rangkaian peristiwa sejarah. 
Pada penulisan sejarah terdapat pandangan bahwa untuk menampilkan kembali suatu peristiwa, maka seorang sejarawan mesti merubah cara berpikirnya sama dengan cara pikir agen sejarah. Akan tetapi menurut teori kopi identitas, karena seorang manusia satu dengan yang lain memiliki konteks dan cara berpikir yang berbeda, maka hasil pikirannya pun akan berbeda. Kemudian akhirnya sejarawan menampilkan kembali kopi pemikiran agen sejarah. Collingwood kurang menyetujui cara pandang ini. Menurutnya, re-enactmen adalah cara sejarawan menampilkan kembali pikiran pribadi para agen sejarah kepada pemikiran konseptual. Masalah mengenai perbedaan konteks dan cara berpikir menjadi tidak penting lagi, saat sejarawan dapat memotret pikiran si agen. Kemudian mengenai cara berpikir rasional-irasional, serta emosi agen pada akhirnya pun dapat menjadi penting saat ketiganya berkaitan dengan peristiwa secara langsung.Sejarah sebagai sain atau ilmu sendiri memiliki pandangan khusus bagi Collingwood. Dia berpendapat bahwa bila sejarah disejajarkan dengan ilmu alam, maka sejarah adalah ilmu alam khusus. Mengenai hal ini, Collingwood membedakan ilmu alam sebagai natursweicht sedangkan ilmu sejarah sebagai gescheweicht.  

Persamaan keduanya adalah sama-sama berusaha mengungkapkan kebenaran dan memiliki patokan hukum atau konvensi-konvensi untuk mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa, meski kebenaran dalam sejarah tidak dapat dikatakan mutlak sepenuhnya. Hal tersebut membedakannya dengan ilmu alam yang memiliki kebenaran nisbi.Mencari jejak-jejak sejarah dapat digunakan para sejarawan, khususnya masayarakat umum, untuk mengetahui asumsi diri kita sendiri. Bahkan lebih dari itu, yakni mengetahui mengenai diri kita. Mengapa bisa begitu ? Karena dalam penenelusuran sejarah atau re-enactmen, kita mesti mengetahui asumsi-asumsi orang lain, kemudian mau tidak mau kita harus mengetahui asumsi kita sehingga dari sinilah timbul rasa pengertian mengenai diri kita.

Comments
0 Comments

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Designed By Siska Yuliana