Robin George Collingwood atau
R.G Collingwood adalah seorang multi talent yang memiliki banyak minat. Dia
seorang filsuf sejarah, arkeolog, sekaligus seniman. Bakat yang didapatnya
diperoleh dari kedua orang tuanya. Ayahnya adalah seorang penulis, pelukis, dan
akeolog bernama William Greshom Collingwood. Ibunya bernama Edith Mary Isaac,
seorang pelukis dan pianis. Dia dididik orangtuanya hingga berumur 13 tahuin.
Setahun kemudian dia menyelesaikan studinya di sekolah persiapan tata bahasa.
Lalu pada tahun berikutnya, saat dia berumur 15 tahun, melanjutkan sekolahnya
ke Rugby school, di sini dia merasa tidak puas akan sekolanya.Tahun 1908 dia
mendapat beasiswa untuk studi bahasa dan sastra klasik di University College, Oxford.
Setahun sebelum masa studinya berakhir, tepatnya tahun 1912, dia menjadi
rekanan di Pembroke College, Oxford. Sejak tahun 1912 pula dia mulai menekuni
bidang sejarah dan arkeologi.
Penelitiannya mengenai situs Roma di Inggris
menghasilkan buku The Archeology of Roman Britain yang diterbitkan pada akhir
1920an dan awal 193oan. Selain itu, dia pun sering menjadi pemimpin ekskavansi.Pada awal studinya mengenai
filsafat, gagasannya berada di bawah pengaruh realis Oxford University,
khususnya John Cook Wilson dan E.F Carritt. Sebagai seorang realis
karya-karyanya pun banyak dipengaruhi oleh pekerjaannya sebagai filsuf
continental, juga karya-karya Benedetto Croce dan Giovani Gentile. Hal ini
merupakan hasil perkawanannya dengan J.A Smith, seorang Profesor Kehormatan
Filsafat Metafisik dari tahun 1910 sampai 1935. Pada tahun 1913 dia
menerjemahkan karya Croce “The Philosophy of Giambattista Vico” dan selanjutnya
banyak menerjemahkan karya-karya Croce dan Guido de Rugierro.
Tulisan-tulisan awal Collingwood
berkisar mengenai agama dan filsafat agama yang berada dibawah pengaruh ‘Cumnor
Circle’, kelompok dari gereja Inggris. Pada 1916, dia menerbitkan esaynya yang
berjudul “The Devil” sebagai bahan koleksi kelompok tersebut. Dia juga
menerbitkan buku pertamanya berisi tentang agama yang berjudul “Religion and
Philosophy”.Pada tahun yang sama Collingwood banyak terlibat dalam
penggalian-penggalian arkeologis, terutama mengenai Roman Britania sebagai
kelanjutan dari penggalian yang dilakukanny sejak 1912. Selain itu, dia pun
menulis beratus paper dan memproduksi banyak buku yang masih valid hingga saat
ini, terutama inskripsi yang berkaitan dengan Roman-Britania.
Pada akhir 1919 ia menulis
sebuah survey mengenai sejarah ontological bukti yang sama dengan argumen analisa(?).
Dia menerapkannya dalam beberapa karya, khususnya dalam Faith and Reason(1928),
An Essay on Philosophical Method(1933), dan An Essay on Metaphysics.
Sepanjang tahun 1920-an dan awal 1930an Collingwood banyak bekerja di bidang
sejarah dan arkeologi, serta menerbitkan The Archaeology of Roman Britain pada
tahun 1930 dan beberapa edisi Roma Britain. Pada puncak kinerjanya adalah hasil
surveinya mengenai Roma Britain yang dipublikasikan dalam Roman Britain and the
English Settlements (1936) dan memberi kontribusi pada tulisan Tenney Frank
mengenai Economic Survey of Ancient Rome (1937). Dia memaksakan diri untuk
bekerja sehingga kemampuannya sebagai polymath (dapat membaca karya ilmiah
dalam bahasa InggriPerancis, Spanyol, Italia, Jerman, Yunani dan Latin) banyak
diminati sejak 1928 sampai seterusnya dalam kapasitasnya sebagai wakil ke
Clarendon Press.Tahun 1924 dia menulis Speculum Mentis. Speculum Mentis adalah dialektik bentuk
dari pengalaman seni, agama, ilmu pengetahuna, sejarah, dan filosofi. Selama
periode ini dia pun memberi kuliah mengenai etika, sejarah Roma, filososfi
Sejarah, dan estetika.
Collingwood kemudian menggantikan J.A Smith sebagai Profesor Waynflete Filsafat
Metafisik dan pindah dari Pembroke ke Magdalene College. Bulan oktober tahun
itu dia menyampaikan kuliah perdananya dalam The Historical Imagination.
British Academy memilihnya sebagai penerima beasiswa doktoral pada tahun 1934
dan mengirimnya pada mata kuliah Human Nature dan Human History pada Mei 1936.
Keduanya kemudian dimasukkan ke dalam The Idea History.
Sekembalinya Collingwood ke
Oxford, dia memberi kulaih mengenai moral dan filsafat politik. Dia juga
mengerjakan The New Leviathan, diterbitkan pada 1942, yang dilihatnya sebagai
kontribusi terhadap upaya perang. Dia menulis buku sebagai latar belakang
perlawanannya terhadap stroke yang semakin hebat.Tanggal 9 Januari 1943
Collingwood akhirnya menghembuskan nafas yang terakhir di Coningston setelah
sekian lama melawan penyakitnya. Dia pun dimakamkan di suatu gereja di
Coningston, di makam sederhana antara orang tuanya dan John Ruskin. Pada 1945,
kedudukannya sebagai profesor waynflete digantikan oleh Gilbert Ryle.Collinwood
lebih banyak bergelut dalam bidang filsafat, meski dia memiliki ketertarikan di
banyak bidang. Karya-karyanya lebih menitikberatkan kajiannya pada ilmu
filsafat yang diterapkan dalam beberapa multidisiplin ilmu yang diminatinya,
seperti seni, sejarah, dan filasafat itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan
ketertarikannya pada ilmu yang mempelajari alam manusia. Sementara itu karyanya
yang berdasar pada penulusuran dan penelitian adalah karya-karyanya pada bidang
sejarah dan arkeologi, yang meneliti mengenai peninggalan-peninggalan
Roma-Inggris.Sejarah menurut Collingwood adalah res-gestae, yaitu jejak-jejak
pada masa lalu manusia. Res-gestae ini dapat diperoleh dan ditelusuri dengan
re-enactmen atau menampilkan kembali jejak-jejak ini. Cara menampilkan
jejak-jejak ini tidaklah mudah. Sejarawan tidak boleh hanya potong dan tempel,
dalam hal ini sejarawan tidak sepatutnya menulis sejarah berdasarkan teori
sejarah ‘potong dan tempel’.
Collingwood berpandangan bahwa
sejarah adalah tentang mempercayai orang ketika dia menyatakan bahwa sesuatu
adalah peristiwa. Apabila yang dilakukan seorang sejarawan hanya memotong dan
menempel pernyataan dari sumber saja, maka yang terjadi adalah sejarah yang
ditutupi untuk kepentingan otoritas. Meski otoritas dalam hal ini dapat digunakan
sebagai sumber dan bukti, tetapi sejarawan tidak boleh tunduk terhadap bukti. Seorang
sejarawan tidak hanya mengumpulkan bukti dan melihat bukti semata-mata sebagai
bukti saja, tetapi juga harus menganalisa apa yang ada di balik bukti tersebut.
Sejarawan harus melihat bukti secara mendalam dan dapat membaca apa yang
tersirat pada bukti tersebut. Bukti dapat dikatakan sebagai bahasa untuk
menampilkan kembali suatu peristiwa. Dari sinilah kemudian dapat ditarik benang
merah, bahwa bukti dihadirkan guna membangun atau merekonstruksi suatu
peristiwa tadi. Sehingga yang diperoleh kemudian bukan merupakan biografi
tokoh-tokoh sejarah saja, melainkan suatu rangkaian peristiwa sejarah.
Pada penulisan sejarah terdapat
pandangan bahwa untuk menampilkan kembali suatu peristiwa, maka seorang
sejarawan mesti merubah cara berpikirnya sama dengan cara pikir agen sejarah.
Akan tetapi menurut teori kopi identitas, karena seorang manusia satu dengan
yang lain memiliki konteks dan cara berpikir yang berbeda, maka hasil pikirannya
pun akan berbeda. Kemudian akhirnya sejarawan menampilkan kembali kopi
pemikiran agen sejarah. Collingwood kurang menyetujui cara pandang ini.
Menurutnya, re-enactmen adalah cara sejarawan menampilkan kembali pikiran
pribadi para agen sejarah kepada pemikiran konseptual. Masalah mengenai
perbedaan konteks dan cara berpikir menjadi tidak penting lagi, saat sejarawan
dapat memotret pikiran si agen. Kemudian mengenai cara berpikir
rasional-irasional, serta emosi agen pada akhirnya pun dapat menjadi penting
saat ketiganya berkaitan dengan peristiwa secara langsung.Sejarah sebagai sain
atau ilmu sendiri memiliki pandangan khusus bagi Collingwood. Dia berpendapat
bahwa bila sejarah disejajarkan dengan ilmu alam, maka sejarah adalah ilmu alam
khusus. Mengenai hal ini, Collingwood membedakan ilmu alam sebagai natursweicht
sedangkan ilmu sejarah sebagai gescheweicht.
Persamaan keduanya adalah
sama-sama berusaha mengungkapkan kebenaran dan memiliki patokan hukum atau
konvensi-konvensi untuk mengungkapkan kebenaran suatu peristiwa, meski
kebenaran dalam sejarah tidak dapat dikatakan mutlak sepenuhnya. Hal tersebut
membedakannya dengan ilmu alam yang memiliki kebenaran nisbi.Mencari
jejak-jejak sejarah dapat digunakan para sejarawan, khususnya masayarakat umum,
untuk mengetahui asumsi diri kita sendiri. Bahkan lebih dari itu, yakni
mengetahui mengenai diri kita. Mengapa bisa begitu ? Karena dalam penenelusuran
sejarah atau re-enactmen, kita mesti mengetahui asumsi-asumsi orang lain,
kemudian mau tidak mau kita harus mengetahui asumsi kita sehingga dari sinilah
timbul rasa pengertian mengenai diri kita.